Senja Kala UN dan Kemerdekaan Belajar

KEBIJAKAN Mendikbud Nadiem Anwar Makarim menghapus ujian nasional (UN) yang akan mulai berlaku pada 2021, kiranya bukan sekadar sebagai penggenapan apa yang sering terjadi selama ini; ganti menteri ganti kebijakan. Tentu ada alasan substantif di balik langkah itu.

Kemerdekaan belajar, demikian istilah yang berulang kali diungkapkan Mendikbud. Dalam konteks menghapus UN, hal yang sama ia sampaikan bahwa sekolah akan menjadi komunitas kemerdekaan belajar dipelihara.

Dengan dihapusnya UN, kini sekolah memiliki kebebasan menentukan asesmen atau penilaian sendiri. Di sini tentu saja dibutuhkan kemampuan sekolah menginterpretasi kompetensi-kompetensi dasar kurikulum untuk kemudian menentukan penilaian yang dianggap cocok sesuai situasi peserta didik dan kebutuhan pembelajaran. Pemerintah perlu juga mengambil peran untuk menetapkan standar-standar penilaian itu.

Keterbatasan UN

Selama bertahun-tahun diberlakukan, UN memang dianggap menjadi standar bersama untuk mengukur kualitas pendidikan dari Sabang sampai Merauke. UN juga dianggap sebagai salah satu pemacu bagi sekolah, juga peserta didik untuk belajar dengan serius. Namun, UN sekaligus memiliki kelemahan yang memang sudah lama juga dikritik. Salah satunya karena memang tes yang dibuat tidak mencerminkan kemampuan apa adanya dalam diri peserta didik, tapi potret sesaat dari keadaan yang sejatinya terus berubah.

UN juga hanya mengevalua­si aspek kognitif, tidak me­nyentuh dimensi holistis yang seharusnya juga mendapat tempat yang sama dalam dunia pendidikan. Harus diakui juga bahwa UN kemudian mengerdilkan sekolah. Ada kesan sekolah berfungsi lebih sebagai tempat latihan menjawab soal-soal agar lulus UN. Sekolah merasa terhormat ketika 100% peserta didiknya lulus UN.

Dalam konteks ini pula, kita saban tahun mendapat kabar tentang berbagai praktik tidak terpuji demi mendapat nilai UN yang tinggi, yaitu menyontek, dagang soal, dan lain-lain. Hal-hal ini sejatinya ialah skandal besar yang memalukan dalam dunia pendidikan.

Penilaian autentik dan holistis

Perubahan kebijakan ini kiranya untuk mewujudkan apa yang disebut sebagai penilaian yang autentik juga holistis, yang bukan lagi hanya pada soal kognitif, melainkan juga terkait dengan karakter, lewat apa yang disebut sebagai survei karakter.

Ini merupakan sebuah terobosan revolusioner di saat kita sedang memasuki dunia masa depan yang serbakompleks, tidak pasti, dan serbacepat. Sebuah kondisi yang tak hanya butuh orang-orang pintar, tetapi juga memiliki sejumlah kompetensi manusia abad ke-21, yaitu mampu berpikir kritis, kreatif, inovatif, komunikatif, dan kolaboratif. Hal-hal ini kiranya nanti bisa diukur dengan metode asesmen yang baru.

Dengan kebijakan baru ini, sekolah kiranya dikembalikan kepada hakikatnya sebagai taman belajar yang menyenangkan, meng­asyikkan, dan memekarkan potensi serta bakat peserta didik, yang mana mereka tergerak untuk belajar bukan sekadar untuk mendapat nilai. Mereka belajar karena merasa bahwa itu bermakna bagi kehidupan yang lebih baik dan sukses di masa depan.

Inilah era peserta didik ialah pusat proses belajar, sebagaimana yang menjadi ideologi dari kemerdekaan belajar. Kemerdekaan belajar juga menekankan keyakinan dan kepercayaan dalam diri para guru bahwa anak pada dasarnya baik sebagai anugerah Allah, memandang murid sebagai manusia yang memiliki multidimensi.

Harapan lain ialah dengan dihapusnya UN, muncul guru-guru yang kreatif dan inovatif. Mereka diharapkan mampu merancang kurikulum secara fleksibel dan transformatif sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minat peserta didik, bukan hanya berdasarkan mata pelajaran dan buku teks.

Sekolah juga bisa secara leluasa mendesain kurikulum dan perangkat pembelajaran berupa silabus dan RPP untuk mengembangkan pengalaman pendidikan yang sesuai dengan perkembangan sosial, emosional, dan intelektual peserta didik.

Dengan dihapusnya UN, sekolah sungguh-sungguh menjadi sebuah medan belajar yang orga­nik dan autentik. Kemampuan akademik, kepribadian, dan moral spiritual peserta didik dan para guru diperhatikan. Sekolah organik ialah sekolah yang menentukan standar-standar berdasarkan perkembangan alamiah peserta didik, bukan berdasarkan tuntutan dari luar.

Dengan kemerdekaan belajar pula, sekolah bisa bebas belajar dan berpikir untuk menggali isu-isu sosial, fenomena alam sebagai sumber ilmu pengetahuan, dan menemukan solusi alternatif demi transformasi sosial dan kesejahteraan hidup masyarakat. Anak-anak menemukan ilmu pengetahuan dan makna hidup melalui interaksi dengan pengalaman di ruang kelas dan dunia luar. Anak-anak mengalami perjumpaan langsung dengan dunia nyata, bukan hanya melalui buku-buku mata pelajaran.

Dengan pengalaman langsung ini, anak-anak sendiri menemukan ilmu pengetahuan yang bermakna bagi hidupnya dalam relasinya dengan sesama, alam, dan Tuhan. Dengan perjumpaan dan pengalaman di dunia nyata, anak-anak mengalami pertumbuhan intelektual, sosial, moral, dan spiritual yang sehat.

Dalam iklim seperti ini pula, sekolah dikembalikan fungsinya yang paling hakiki sebagai komunitas pembelajar yang mendidik dan menumbuhkembangkan peserta didik untuk terus belajar memekarkan potensi dan bakat-bakatnya demi kebaikan dan kesejahteran bersama. Pun para guru dikembalikan harkat dan martabatnya sebagai pendidik yang membantu dan melayani peserta didik dengan segenap tenaga, budi, dan hati.

Pekerjaan rumah

Harus disadari bahwa perubahan kebijakan ini sekaligus membawa pekerjaan rumah yang besar bagi semua pihak, baik pemerintah maupun institusi pendidikan lainnya. Metode asesmen yang sepenuhnya diberikan kepada sekolah mewajibkan pemerintah berjuang keras meningkatkan mutu sekolah-sekolah, yang faktanya sangat beragam dari Sabang sampai Merauke.

Sejauh mana nanti sekolah, kepala sekolah, dan guru siap menjemput perubahan-perubahan ini. Data kompetensi guru kita menurut survei Kemendikbud pada 2016, masih di angka 5,6. Kualitas demikian kiranya terkonfirmasi juga dari hasil PISA baru-baru ini, yang kembali menempatkan kita di posisi buncit.

Langkah terobosan Mendikbud juga mesti diimbangi dengan transformasi di internal kementerian dan juga peme­rintah-pemerintah daerah agar berkoordinasi dengan baik. Antara kepala dinas dan LPMP, misalnya, mesti ada sinkronisasi dalam membuat pendidikan dan pelatihan kepala sekolah dan guru-guru agar memiliki kapabilitas akademis, kepribadian, dan moral spiritual serta menguasai keterampilan digital, juga mendo­rong guru-guru untuk memiliki gairah membaca buku-buku berkualitas.

Perhatian demikian tentunya mesti adil antara untuk sekolah negeri dan swasta sehingga cita-cita menuju Indonesia maju bisa terwujud. Jangan sampai hanya kebijakannya yang berubah, tapi narasi soal mutu rendah pendidikan kita terus abadi sepanjang waktu.

Vinsensius Darmin Mbula OFM
Sekjen BMPS dan Ketua Presidium MNPK

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

eighteen − 4 =